Sejarah (Komunisme)

"Apa yang dibantah" haruslah bisa Anda hadirkan. Sebab, tidak semua perkara bisa diselesaikan dengan iman.

(Poster anti-Komunis di gedung DPRD Jawa Barat, sumber: @tasilsa)

Sejarah adalah peristiwa tentang masa lalu. Belajar sejarah adalah belajar tentang masa lalu. Meskipun begitu, tidak semua masa lalu bisa disebut sejarah. Hanya masa lalu yang memiliki makna dan nilailah yang bisa disebut sejarah.

Apa yang terjadi pada saya enam hari yang lalu hanyalah masa lalu. Tapi pernikahan saya enam tahun yang lalu adalah sejarah, karena ada makna dan nilai di masa itu.

Sebagai buktinya: saya lupa enam hari yang lalu memakai baju apa, jam sembilan pagi sedang apa, atau tidur saya bagaimana.

Tapi saya masih ingat betul enam tahun lalu saya memakai baju apa saja, redaksi qabul yang saya lantunkan jam sembilan pagi seperti apa, dan waktu itu saya ingat sekali tidur saya agak berbeda karena "guling" saya bernyawa.

Bobot dari nilai dan makna dalam sejarah bisa beragam karena manusia memiliki standar perasaan yang tidak tunggal.

Pernikahan saya bermakna kebahagian, tapi belum tentu sama maknanya dalam pernikahan Siti Nurbana yang dikawinkan dengan Datuk Maringgih secara terpaksa.

Sejarah juga bisa digunakan untuk motif yang beragam karena tujuan mengingat-ingat masa lalu tidaklah tunggal.

Ada yang mengulang-ulang sejarah 1965 untuk menegaskan bagaimana bahayanya Komunisme di Indonesia (dan anggota mereka sampai sekarang masih ada). Ada pula yang mengulang-ulang sejarah 1965 untuk menyampaikan pesan dari sudut pandang korban sebagai pihak yang dibantai lewat campur tangan ABRI dan negara (bahwa anggota PKI sampai sekarang sudah binasa semua).

Selain nabi, tidak ada figur omnipresen di bumi ini (melipat jagat dan hadir di manapun, kapanpun waktu ia mau). Sains sendiri, jika berkiblat pada Albert Einstein, memungkinkan perjalanan waktu manusia (time traveling) hanya ke masa depan, tapi mustahil jika perjalanannya dilakukan ke masa lalu.

Itulah alasan hadirnya metodologi sejarah sebagai ikhtiar menyusun ulang sejarah sebagaimana ia berjalan di waktu itu, dan menyibak tabir kelam masih adakah PKI di masa sekarang.

"Teori ilmiah itu bisa saja keliru, dan tidak ada ruginya percaya pada teori konspirasi PKI, kan? Karena jika itu benar-benar terjadi maka kita sudah berjaga-jaga sebelumnya," demikian yang kerap saya terima.

Dalam kaidah fikih kita sering mendengar:

البينة للمدعى واليمين على من أنكر
"Bukti wajib dihadirkan oleh penuduh, dan yang tertuduh berhak mengingkarinya."

Dalam sains umum dan fikih Islam sekalipun, semua tuduhan memiliki nilai ilmiahnya sendiri untuk dibantah.

Sekali lagi: dibantah!

Karena ditopang oleh bukti yang ada, makanya bisa dicek, dikoreksi, direvisi, diperdebatkan, hingga disalahkan.

Akan tetapi dalam omong kosong semua hal itu tidak bisa diterapkan. Apa yang bisa dikoreksi dari hal yang tidak ada?

Inilah yang dalam metodologi disebut dengan falsifikasi.

Kecuali jika Anda adalah Tuhan Yang Maha Tahu, Anda tidak bisa sekonyong-konyong mengatakan:

"Injil yang ada sekarang itu palsu, sudah diubah (tahrif) oleh pendeta-pendeta yang iri kepada Islam."

Karena jika Anda ditagih keberadaan Injil yang asli, untuk membenarkan tuduhan Anda bahwa Injil masa sekarang telah di-tahrif, saya tidak yakin Anda akan mampu menghadirkannya.

Masalahnya Anda tidak punya kuasa seperti Tuhan, dan oleh karena itu "apa yang dibantah" haruslah bisa Anda hadirkan. Sebab, tidak semua perkara bisa diselesaikan dengan iman.

Komentar