Ahmad Al-Muhajir Hijrah ke Indunus?

Apakah Ahmad Al-Muhajir, datuk dari seluruh klan Baalawi, hijarh ke Indunus? Padahal, ia dikenal hijrahnya ke Yaman.

Cover buku: Ansab Al-Asya'ir Al-'Arabiyah
Gambar di bawah ini adalah cover ensiklopedia yang dipakai orang-orang yang menyepakati Kiai Imaduddin bahwa Ahmad Al-Muhajir tidak hijrah ke Yaman, tapi ke Indunus.

Heran, mereka selalu meminta sumber sezaman, tapi kala ada temuan yang bertentangan dengan klaim Baalawy (Imam Ahmad hijrah ke Yaman), mereka pakai juga tanpa memerhatikan syarat yang mereka usung sendiri sejak awal (yaitu: sumber sezaman).

Ensiklopedia ini diterbitkan pada abad ke-14, sangat modern sekali. Dan ketika menyebutkan Ahmad Al-Muhajir, saya cek ternyata merujuk pada sebuah majalah modern (saat menyebutkan Ahmad Al-Muhajir hijrah ke Indunus, ada footnote. Silakan cek saja jika tidak percaya dengan saya).

Kalau konsisten dengan sumber sezaman, seharusnya caranya begini:

Pertama, mencari manuskrip yang ditulis oleh Al-Ubaidily, Al-Umary, Ibnu Thobathoba, Al-Marwazi, dan Ibnu Inabah. Mereka semua, kan, ulama nasab tua. Jauh lebih tua daripada ensiklopedia abad ke-14 di atas.

Kedua, karena sudah membaca redaksi versi manuskrip, saya memastikan Ahmad Al-Muhajir tidak hijrah ke Indunus.

Kenapa?

Karena julukan An-Nuffath, Al-Ataj, dan Al-Abah (yang dipakai ensiklopedia modern di atas untuk ditafsirkan hijrahnya ke Indunus) tidak pernah disebutkan oleh ulama nasab yang sezaman dan generasi setelah Ahmad Al-Muhajir (sampai Ibnu Inabah, kecuali di Umdatul Thalib Shugro).

Ketiga, kenapa kitab-kitab nasab justru menuliskan laqob ini kepada Ahmad Al-Muhajir, sehingga Anda semua mengira ia pergi ke Indunus?

Karena kitab yang Anda baca itu versi modern yang sudah melewati proses editing (tahqiq). Dan ketiga julukan di atas ditulis sendiri oleh Muhaqqiq atau penerbitnya sendiri. Tambahan yang tidak ada dasarnya pada manuskrip asli!

Heran, sok-sokan mau membicarakan ini secara historis, sampai nagih kitab sezaman segala. Padahal, yang Anda baca adalah buku yang sudah melewati proses editing, dan terbit abad ke-14, pula.

Itu semua bukan sumber utama, tapi sumber tersier (disebut sekunder saja belum)!

Serius meneliti sejarah harus berani mencari manuskripnya, menelaahnya, dan mendatangkan argumen dari sana. Bukannya dari buku cetakan modern yang sudah melewati proses editing!

Contoh kecil kenapa saya sebut Anda semua hanya memakai "kajian historis" sebagai kedok:

Saat melacak keturunan Nabi Muhammad bernama Siti Fatimah, Kiai Imaduddin memakai Shohih Bukhari sebagai rujukan. Jadi apakah Nabi Muhammad punya anak bernama Siti Fatimah, Kiai Imaduddin memakai kitab hadis untuk mengkonfirmasinya.

Anda tahu Shohih Bukhari itu terbit tahun berapa? Abad ketiga Hijriyah (Imam Bukhari wafat pada 256 H.)!!! Tapi Anda tidak masalah dengan ketidakkonsistenan Kiai Imaduddin ini?

Mana mungkin orang seperti Anda yang sok-sokan menyeret fenomena ini ke wilayah historis, tapi memakai sumber yang muncul 200an tahun dari peristiwa itu terjadi (Nabi wafat pada dekade kedua Hijriyah)?

Makanya, saya itu sejak awal sudah nebak kalau "kajian ilmiah" ini cuma kedok semata. Anda semua tidak serius melakukan kajian historis tentang fenomena ini.

Tapi entah apa motif Anda semua, saya kan tidak pernah menyinggung itu (kecuali di tulisan ini).

Saya masih setia dengan metodologi historis bagaimana melacak seseorang di masa lalu lewat bukti-bukti historis sezaman. Itu saya lakukan karena komitmen menghormati ilmu yang seharusnya agung di tangan ahli ilmu.

Kenapa jarang bikin konten yang mengulas ini? Ya, karena melacak orang di masa lalu dari sudut pandang historis itu memang tidak mudah!

Bukannya main comot majalah yang terbit baru-baru saja lantas memastikannya sebagai kebenaran, seperti yang Anda lakukan.

Itu norak!

Coba sini ajak Kiai Ihyak, Gus Fuad, KRT. Faqih Wirahadiningrat, atau siapapun yang mengira hijrahnya Ahmad Al-Muhajir ke Indunus, maukah live bersama saya mendiskusikan ini? Saya pingin ngukur referensinya sejauh apa untuk mendukung cocokloginya ini, sih?

Komentar