Menjawab Kiai Imaduddin Al-Bantani

Ada beberapa hal yang ingin saya bantah dari hipotesa Kiai Imaduddin, tapi masih dalam proses pencarian bukti historis

Manuskrip Al-Suluk Fi Thobaqat Al-Ulama wa Al-Mulk (Awwadl Baalawi)

Pasal-1:
Ali Bani Jadid (Bajadid)

Saya sudah punya tiga manuskrip Al-Suluk (dan saya akan mencari yang lain), dari yang paling tua hingga yang paling muda. Dari tiga manuskrip itu, memang berbeda-beda semua dalam menuliskan silsilah Ali Bajadid.

Fakta uniknya: makin muda manuskripnya, makin lengkap silsilah Ali Bajadid ini.

Saya susunkan yang sudah terkonfirmasi dari dua muqobalah, seperti yang bisa dijangkau Kiai Imaduddin sajalah.

Versi manuskrip ijazah Sunan Turmudzi:

“Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid”

Versi manuskrip Al-Suluk yang saya unggah di video:

“Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir”

Jadi ada empat nama saja yang terkonfirmasi, dan saya sepakat dengan Kiai Imaduddin tentang hal ini:

“Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid”

Namun, selain melacak silsilah nama ini ke atas, ada satu hal yang harus disepakati: Abul Hasan Ali terkonfirmasi sebagai Syarif (keturunan Imam Ali dari Siti Fatimah) dan Husaini (keturunan dari jalur Imam Husain).

Itu dulu saja yang harus dibantah Kiai Imad: apakah Ali Bajadid ini bukan Syarif-Husaini?

Silakan Kiai Ihyak, KRT. Faqih Wirahadiningrat, Gus Fuad Plered, Tubagus Mogi dan lainnya bersatu untuk menghadirkan argumen terbalik. Tidak harus merepotkan Kiai Imaduddin seorang. Kasihan beliau.

Saya memerlukan sumber sezaman (sekali lagi: sumber sezaman!) yang mampu membatalkan kesahihan Bajadid sebagai Syarif-Husaini.

Tentu sumber sezaman ini haruslah bayyinah shorihah, bukan satu kitab tunggal yang problematik seperti Al-Syajarah Al-Mubarokah yang diproduksi di Iran dan punya spektrum informasi yang saaangat terbatas, tidak sampai ke Yaman.

Karena saya sudah menghadirkan bukti historis tahun 606 H. dan tahun 630 H. (akan saya susulkan manuskrip 575 H. jika sudah rampung direstorasi) yang mengokohkan Bajadid dan Baalawi ini adalah Syarif dan Husaini.

Perbedaan saya dengan Kiai Imaduddin dalam melihat catatan silsilah Al-Janadi yang beragam ini cuma satu: beliau menelaah dengan semangat menafikan, sementara saya menelaah dengan semangat pencarian.

Bukankah kesarjanaan historis itu berkelana di masa lalu untuk mencari sesuatu?

Nah, untuk menjawab kenapa silsilah yang dituliskan Al-Janadi, saya ingin mengantarkan Anda pada sebuah kaidah ushul terlebih dahulu:

مراد الكلام على عرف المخاطب

“Maksud dari sebuah omongan seseorang harus berdasarkan kebiasaan (zaman) orang itu!”

Jadi ketika Al-Janadi (atau ulama sezaman) menyebutkan silsilah Ali Bajadid sependek itu, bagaimana ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di waktu itu? Jangan-jangan Al-Janadi (mukhotib) menyebutkan silsilah pendek Ali Bajadid karena lawan bicara (mukhatab) sudah memahaminya.

Maksudnya, harus ditangkap dulu maksud sebenarnya dari Al-Janadi ketika menyebutkan Ali Bani Jadid pada manuskrip paling tua: kenapa bisa sependek itu?

Apakah Kiai Imad sempat memikirkan itu? Tentu tidak, lawong saat mendapati nama Jadid (kedua) langsung disebutkan Al-Janadi sebagai anak Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir, beliau langsung curiga kalau ini hasil kompromi ulama setelah Al-Janadi dan merupakan akal-akalan saja biar logis nasabnya.

Asumsi saya: bagaimana jika tidak seperti kemauan Kiai Imad?

Saya berikan beberapa contoh…

Al-Ubaidily saat menuliskan silsilah Isa An-Naqib, redaksinya begini:

“Inilah keturunan Isa bin Ali Al-Uraidli”

Ini pemendekan yang dimafhumi, karena tidak mungkin Isa An-Naqib adalah anak Ali Al-Uraidli, tapi ia adalah cucunya. Jadi berangkat dari konteks waktu itu (‘urf), muhaqqiq memberikan “la’ala showab”:

“Inilah keturunan Isa (bin Muhammad) bin Ali Al-Uraidli”

Ulama nasab saja punya ‘urf begini, masak yang lain tidak boleh?

Contoh lain: penguasa Dinasti Rasuli yang membuat kitab nasab berjudul Thurfat Al-Ashab, dalam beberapa literatur HANYA dituliskan begini:

“Al-Malik Umar bin Yusuf bin Rasul”

Tentu saja ini pemendekan silsilah yang memerlukan konteks (‘urf) untuk memahami lengkapnya, karena jika di-muqobalah-kan dengan kitab lain, maka silsilah yang benar ialah:

“Al-Malik Umar bin Yusuf (bin Umar bin Ali) bin Rasul”

Contoh lain seperti yang disebutkan Ja’far Asagaf, ada orang yang disebutkan namanya sebagai…

“Salamah bin Tsa’labah bin Mazin”

Jika melacak ‘urf di waktu itu, dan muqobalah dengan kitab yang sezaman atau yang satu thobaqot, maka silsilah benarnya ialah…

“Salamah (bin Jahdam bin Amr bin Al-Jadzam) bin Tsa’labah bin Mazin”

Maka, ketika Al-Janadi menulis silsilah Ali Bajadid begini…

“Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir”

…setelah melihat manuskrip yang lain, dan menelaah kitab sezaman atau masih satu thobaqot dengan Al-Janadi, la’alas showab begini:

“Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid (bin Ali bin Muhammad bin Jadid) bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir”

Mengetahui ‘urf pemendekan seperti ini tidak perlu berangkat dari kecurigaan, cukup menghadirkan rasa ingin tahu dan pelacakan yang sedikit lebih keras saja.

Jika tidak percaya dengan saya silsilahnya seperti di atas, sini sodorkan bukti yang membatalkan silsilah ini? Salahkah silsilah Bajadid di atas? Tentu, sumber itu harus sezaman, dong~

Pasal-2:
Makam Nabi Hud

Saya memberikan kuis: kenapa Al-Janadi tidak menuliskan makam Nabi Hud, padahal ia mengembara di penjuru Yaman? Padahal selama dua abad makam ini populer sekali diziarahi penduduk Yaman (bahkan orang Dzifar juga berziarah ke sana).

Jawaban Kiai Imad:

“Penulis dapat bantu jelaskan, karena riwayat bahwa makam Nabi Hud terdapat di Hadramaut itu adalah riwayat yang daif, bahkan ulama menjelaskan bahwa ditemukannya makam tersebut bukan berdasarkan riwayat tetapi hanya berdasarkan kasyaf para ahli sufi.”

Pertanyaannya: sejak kapan Makam Nabi Hud dianggap daif? Ulama siapa yang memastikan Makam Nabi Hud berdasarkan kasyaf? Apakah semua itu dari informasi abad kedelapan? Apakah Al-Janadi tidak menuliskan informasi Makam Nabi Hud karena informasi sezaman itu telah yang sampai ke telinganya?

Saya menghadirkan dua manuskrip abad keempat dan kelima untuk menunjukkan kepada siapapun bahwa: bukti historis menyebutkan Makam Nabi Hud sudah populer dikunjungi penduduk Yaman dua abad sebelum Al-Janadi datang ke Yaman.

Jika saya adalah Al-Janadi, yang punya kepentingan menuliskan sejarah Yaman di waktu itu, maka saya akan menulis begini:

“Saya berada di sebuah tempat dimana penduduk Yaman menziarahinya bangunan di tempat ini setiap bulan tertentu. Di sana, menurut klaim penduduk Yaman, adalah tempat Nabi Hud disemayamkan. Aku tak tahu kebenarannya, tapi beginilah yang terjadi di Yaman saat aku itu.”

Sejarawan tidak akan peduli dengan motif teologis semacam kasyaf atau kesufian. Ia cuma punya kepentingan mencatat informasi yang ia terima saat melakukan penelitian. Toh, dia sendiri mengaku sering tabarukan di masjid tempat talaqqi Syaikh Mudafi’ dan Syaikh Abdul Qadir Jailani.

Sekali lagi: apakah Al-Janadi tidak mencatat informasi Makam Nabi Hud karena ia tahu makam itu daif? Apa bukti bahwa kedaifan makam ini telah tersebar di abad kedelapan di Yaman (sekali lagi: di Yaman!)? Sini tunjukkan manuskripnya?

Apakah Kiai Imaduddin mendapatkan informasi kesufian yang memastikam Makam Nabi Hud dari Abu Bakr Basyarahil? Ataukah kedaifan itu datang dari Al-Fatawa Al-Kubro karya Ibnu Hajar?

Itu, sih, sumber abad belakangan. Bukan sezaman dengan Al-Janadi, Gimana, sih? Katanya mau tanding sumber sezaman?

Saya kasih tahu…

Kenapa Al-Janadi tidak menginformasikan Makam Nabi Hud?

Pertama, karena sejarawan tidak punya kewajiban menuliskan semua hal. Sekali lagi: semua hal!

Kedua, jika Anda membaca tiga jilid kitab Al-Suluk, Anda akan mendapati sebuah pola, ternyata yang ia catat hanyalah: ulama Yaman, raja-raja Yaman, wazir dan pejabat Yaman, peristiwa yang berkaitan dengan tiga jenis sosok ini, kemudian mencatat yang paling jauh ialah sahabat Nabi Muhammad, Tabi’in, Tabi’it Tabiin yang datang ke Sana’a dan Hadlramaut sejak tahun 50 H. hingga yang terjauh ialah peristiwa tahun 730 Hijriyah (tahun dimana kitab ini rampung ditulis).

Jadi Al-Janadi hanya mengisahkan informasi spesifik, dan dari segi tahun spesifik pula, yaitu HANYA peristiwa tahun 50 H. hingga 730 H. di Yaman.

Ketiga, kenapa Makam Nabi Hud tidak ditulis? Karena Nabi Hud bukanlah ulama Yaman, Raja Yaman Dinasti Rasuli, bukan pula wajiz dan pejabat, bukan pula sahabat Kanjeng Nabi Muhammad, dan sudah meninggal sebelum 50 Hijriyah!

Tak perlu berakrobat bahwa Makam Nabi Hud ini daif atau bukan!

Sampai di sini paham?

Pasal-3:
Abu Marwan

Saat menyebutkan Abu Marwan sebagai Baalawi, saya sebenarnya ingin mengulas ini pada sebuah video. Tapi tak apa saya jelaskan sedikit.

Abu Marwan itu disebutkan Al-Janadi sebagai Baalawi. Saya cek dua manuskrip dan dua buku modern Al-Suluk, benar-benar ditulis sebagai bagian dari Baalawi.

Tapi, apakah Abu Marwan adalah Baalawi? Sama seperti Kiai Imad memberikan kode, saya sepakat jika Abu Marwan BUKANLAH Baalawi.

Abu Marwan ialah guru dari Muhammad Faqih Muqoddam. Abu Marwan ini bernama Ali bin Ahmad bin Salim Bamarwan! Nama Bamarwan memberi tahu kita jika dia adalah seorang alim dari Hadlramaut (karena memakai Ba-, seperti Ba-Alawi).

Ini menambah satu saksi lagi: jika ada tokoh asal Hadlrami yang menjadi gurunya Faqih Muqoddam, apakah ia ingkar dengan silsilahnya sampai ke Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir? Ternyata tidak!

Kenapa saya (dan Kiai Imad) mengetahui itu? Karena telah membaca manuskrip asli Al-Suluk, dan muqobalah dengan kitab sezaman atau setelahnya!

Apakah Al-Janadi keliru?

Tidak, saya pastikan Al-Janadi adalah sejarawan ulung. Kekeliruan ada pada penulis naskahnya saja (nusakh) yang mencatat ulang manuskrip Al-Janadi, sehingga ada kekaburan dan Sang Nusakh mencatat Abu Marwan sebagai Baalawi. Kekeliruan ini lantas diteruskan nusakh-nusakh selanjutnya.

Sama seperti An-Nafhah yang menuliskan Alwi sebagai keturunan Bajadid, kekeliruan ini diteruskan nusakh-nusakh selanjutnya hingga sampai kepada Kiai Imad.

Sekali lagi ini menunjukkan dua hal:

Tanpa manuskrip asli, Anda akan kebingungan membaca sejarah. Bahkan dengan manuskrip pun, kita bisa terkecoh oleh seorang nusakh.

Dan akhirnya Kiai Imad memakai sumber bukan sezaman untuk mengetahui siapa Abu Marwan.

Pertanyaannya: kenapa beliau ngotot sumber sezaman untuk orang lain, sementara beliau bisa meloncat-loncat dengan sumber yang acak?

Komentar